Apa yang pertama kali ada di benak Anda ketika mendengar kata 'PAJAK'?

Kamis, 29 Oktober 2009

Penyerapan Stimulus Pajak Rendah

DJP memperkirakan pemberian stimulus pajak penghasilan (PPh) 21 ditanggung pemerintah (DTP) senilai Rp6,5 triliun tidak akan terserap semua hingga akhir tahun.

DirJend Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan hingga saat ini realisasi penyerapan stimulus PPh 21 DTP masih sangat minim. Namun, dia enggan menyebutkan angka realisasinya.

"Yang jelas itu tidak bisa terserap semua, karena baru tersisa 2 bulan 1 minggu sehingga kayaknya sulit terserap semua. Berapa besarnya saya nggak mau ngomong," katanya

Data Ditjen Pajak per Agustus 2009 mencatat realisasi penyerapan stimulus PPh 21 DTP baru sekitar 10% dari total dana yang dialokasikan tahun ini sebesar Rp6,5 triliun.

Tjiptardjo mengungkapkan alasan rendahnya penyerapan stimulus PPh 21 DTP tersebut dikarenakan keengganan pihak pengusaha memanfaatkan stimulus itu untuk karyawannya. "Memang pengusahanya tidak antusias melaksanakan," ujarnya.

Alasan pengusaha enggan memanfaatkan stimulus tersebut untuk karyawannya, jelasnya, adalah kekhawatiran menghadapi protes dari karyawan yang menuntut kenaikan gaji karena stimulus tersebut tidak berlaku untuk tahun depan.

Selain itu, lanjutnya, alasan lain rendahnya penyerapan stimulus tersebut adalah terlambatnya waktu launching pemberian stimulus PPh 21 DTP. "Apalagi tempo hari lahuncing-nya juga sudah bulan keberapa."

Menurut dia, sisa anggaran stimulus PPh 21 DTP yang tidak terserap akan kembali ke APBN di mana pengelolaannya berada di bawah Departemen Keuangan. "Sebetulnya itu kan pajaknya ditanggung pemerintah. Jadi in out saja," jelasnya.

Ekonom dari Indonesia Economic Inteligence (IEI) Sunarsip menilai rendahnya penyerapan stimulus PPh 21 DTP akibat desain sasaran masyarakat yang dirancang pemerintah kurang luas. "Jika sasaran penerima stimulus pajak diperluas, misalnya dengan memasukkan masyarakat kelas menengah lebih besar, angka Rp6,5 triliun bisa habis," katanya.

Dia menuturkan tidak terserapnya stimulus pajak tersebut bukan berarti masyarakat tidak memanfaatkan stimulus tersebut. "Masyarakat sudah memanfaatkan stimulus . Buktinya, pertumbuhan konsumsi tinggi."

Menurut dia, fakta tingginya pertumbuhan konsumsi memberikan indikasi bahwa jika stimulus pajak terserap seluruhnya, pertumbuhan ekonomi 2009 seharusnya bisa lebih tinggi dari 4%.

Baru 2012, Hasil Audit Wajar

Paling lambat tahun 2012, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat harus mendapatkan hasil audit ”wajar tanpa pengecualian” dari BPK. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu ragu lagi terhadap pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah.

”Itu salah satu kontrak kinerja yang saya tanda tangani dengan Presiden SBY, yaitu pengelolaan keuangan negara harus sudah unqualified pada tahun 2012,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (26/10) di Jakarta, seusai berbicara di Seminar Internasional tentang Pengelolaan Keuangan Negara: Memenuhi Mandat Publik.

Menurut Menkeu, ada tiga hal yang menghambat peningkatan peringkat audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Saat ini hasil audit LKPP mendapat status disclaimer (tanpa opini).

Pertama, masalah pengelolaan aset negara yang tidak jelas. Kedua, lemahnya keyakinan pada besaran penerimaan pajak karena akses pemeriksaan BPK pada data perpajakan dibatasi. Ketiga, penyertaan modal pada lembaga-lembaga asing.

Masalah aset, antara lain belum beresnya status rumah dinas milik pemerintah yang masih dihuni pensiunan atau pejabat. ”Pada masalah pajak ada kendala pada penagihan piutang,” ujar Menkeu.

Hasil Pemeriksaan semester I-2009 BPK atas LKPP 2008 dilaporkan, ada 8.200 satuan kerja di departemen yang belum membukukan hasil revaluasi aset senilai Rp 77 triliun. Selain itu, ada aset Rp 16 triliun di kementerian yang belum jelas keberadaannya.

Pemerintah juga belum menetapkan kebijakan akuntansi atas penerbitan promissory notes (surat perjanjian akan membayar) kepada lembaga internasional senilai Rp 28 triliun.

Masalah lain, pemerintah belum mengakui utang kepada BI yang digunakan sebagai dana talangan iuran keanggotaan pada lembaga asing Rp 3 triliun

Meminta data

Terkait akses pemeriksaan terhadap data pajak, Ketua BPK Hadi Purnomo mengakui, BPK hanya bisa meminta data pembayaran pajak ke badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD).

”Jadi, hanya kepada wajib pajak badan yang jadi obyek pemeriksaan kami. Perusahaan swasta tidak bisa, begitu juga wajib pajak pribadi.,” ujarnya.

Menurut anggota BPK Hasan Bisri, untuk memperluas akses ke data perpajakan, BPK butuh dukungan pemerintah dan DPR. ”Kami belum tahu, seperti apa dukungan DPR. Kami akan koordinasi lebih lanjut,” ujarnya.

Dikatakan, BPK ingin membantu memperjelas potensi pajak di Indonesia. Tanpa akses ke wajib pajak, terutama wajib pajak besar, potensi itu sulit diketahui.

Namun, anggota Komisi XI DPR Andi Rahmat menegaskan, BPK memang tidak memiliki kewenangan membuka data wajib pajak pribadi. ”Kecuali status wajib pajak itu dalam penyidikan dan penuntutan. Undang- Undang Ketentuan Umum Perpajakan sudah jelas melindungi wajib pajak,” ujarnya.

Senin, 12 Oktober 2009

Tahun 2014 tarif PBB turun menjadi 0,3%

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.

”Saat ini, basis data PBB mencapai 92 juta obyek pajak. Itu akan kami distribusikan secara bertahap kepada daerah. Namun, daerah harus memiliki perangkat teknologi informasi yang kuat karena mengelola data yang sangat besar itu bukan perkara mudah. Jika teknologinya tidak kuat, bisa ada kesalahan penetapan NJOP,” ungkap Direktur Ekstensifikasi Pajak Direktorat Jenderal Pajak Hartoyo di Jakarta, Jumat (9/10).

Perubahan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan itu ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada 15 September 2009.

Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.

Bayar PBB makin ringan

Selain itu, besaran NJOPTKP juga diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12 juta, kini paling rendah Rp 10 juta per obyek pajak. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran PBB yang harus ditanggung masyarakat. Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha.

Sebagai ilustrasi, jika seorang warga memiliki tanah seluas 800 meter persegi dengan harga jual Rp 300.000 per meter persegi, NJOP-nya mencapai Rp 240 juta.

Kemudian dia juga memiliki rumah seluas 400 meter persegi, taman (200 meter persegi), dan pagar setinggi 1,5 meter dan panjang 120 meter dengan nilai jual masing-masing Rp 350.000, Rp 50.000, dan 175.000 per meter persegi, sehingga NJOP-nya adalah Rp 181,5 juta.

NJOP rumah, taman, dan pagar harus dikurangi NJOPTKP terlebih dahulu, katakan tarifnya Rp 10 juta, sehingga nilai jual bangunan kena pajak hanya Rp 171,5 juta.

Dengan demikian, total nilai jual obyek pajak kena pajak baik tanah, rumah, taman, dan pagar mencapai Rp 411,5 juta. Angka inilah yang dikalikan dengan tarif PBB-nya, misalnya ditetapkan 0,2 persen, sehingga PBB yang harus dibayar adalah Rp 823.000.

”Pemeriksaan atas wajib pajak PBB yang bermasalah bisa dilakukan pemda bersama Ditjen Pajak. Adapun pembukuan PBB Perdesaan dan Perkotaan bisa dilakukan di daerah dan Ditjen Pajak. Daerah harus memiliki tim penilai aset yang kuat untuk menetapkan besaran NJOP-nya,” ujar Hartoyo.

Anggota DPR sekaligus anggota Panitia Khusus RUU PDRD, Nursanita Nasution, mengatakan, PBB dialihkan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam waktu lima tahun terhitung sejak UU PDRD disahkan karena daerah sendiri membutuhkan persiapan untuk menanggung kewenangan baru itu.

Rabu, 07 Oktober 2009

Pajak Penghasilan bagi Lembaga Pendidikan Swasta

Berlakunya UU no 36/2008 ttg PPh, khususnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (3) huruf m : Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan serta penelitian pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.

Ayat ini adalah peningkatan dari SE DJP 85/1995 hal yang sama.

Intinya klo ada selisih lebih tidak digunakan dalam 4 tahun, maka akan menjadi objek pajak. Itupun ditambah sanksi denda....

Saya melihat ini upaya negara melepas tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Bukankah pembukaan UUD jelas menyebut : MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, adalah tugas negara. Artinya negara harus wajib menyediakan pendidikan supaya rakyatnya cerdas. Alih2 mencerdaskan, kini klo ada lembaga yang ikut mencerdaskan bangsa, di curigai PASTI MENCARI UNTUNG, dan ADA SISA LEBIH.

Kemana negara ketika Ki Hajar Dewantara membuat sekolah TAMAN SISWA? Apa ada bantuan yang diberikan? Padahal dg tulus beliau mendidik tanpa pamrih, dan kini ketika berkembang bukan mensubsidi, malah memajaki. Seharusnya lembaga pendidikan swasta itu malah dibantu negara dari APBN, dibanding APBN digerogoti korupsi.

Apa upaya negara ketika hanya 10-15% saja lulusan SMA/sederajat yang diterima PTN? Kemana sisanya? Klo sisanya ke PTS, mengapa PTS malah menjadi objek tembak PPh? Mengapa pasal itu tidak berlaku bagi PTN yang sekarang disuruh cari dana sendiri, sejak diubah menjadi BHMN? Mengapa PTN tidak kena PBB? dan banyak lagi tanya besar lainnya....

Buru koruptor itu daripada memajaki lembaga pendidikan.......!!!!

PPh 21 atas penghasilan dokter

Pada tahun 2009 ini berlaku Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21. Ketentuan pelaksanaan tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2009 tanggal 31 Desember 2008 dengan petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009. Berdasarkan bingkai dua ketentuan inilah saya menuliskan tentang pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter.

Ketentuan Dalam Peraturan Menteri Keuangan

Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 ini termasuk dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri masuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai seperti kita temukan dalam Pasal 3 peraturan ini. Definisi Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 nya? Dasar pengenaan pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9) di mana Penghasilan Kena Pajak ii adalah Penghasilan Bruto dikurangi PTKP (Pasal 10 ayat 2). Namun demikian, pengurangan PTKP ini harus memenuhi syarat sebagaiamana diatur dalam Pasal 12 di antaranya adalah hanya berpenghasilan dari pemotong pajak saja. Bagi dokter sarat ini nampaknya sulit dipenuhi karena biasanya dia punya sumber penghasilan lain.

Dengan demikian, pengenaan PPh Pasal 21 atas dokter yang berstatus bukan sebagai pegawai adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 kali kumulatif penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c. Kata-kata ”kumulatif” menunjukkan bahwa pengenaan tarif Pasal 17 memperhatikan penghasilan dokter bulan-bulan sebelumnya dalam satu tahun pajak.

Ketentuan Dalam Peraturan Dirjen Pajak

Dokter dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 termasuk pula dalam kelompok tenaga ahli di mana tenaga ahli juga masih termasuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai. Namun demikian, cara perhitungan PPh Pasal 21 nya ”sedikit” menyimpang dari Peraturan Menteri Keuangan. Di Pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Dirjen, dasar pengenaan pajak bagi tenaga ahli (berarti juga dokter) yang melakukan pekerjaan bebas adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto. Khusus mengenai dokter, Pasal 10 ayat (6) memberikan penjelasan tentang penghasilan bruto dokter yaitu bahwa dalam hal penghasilan dokter yang melakukan praktek di rumah sakit atau klinik maka penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar pasien melalui rumah sakit/klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit/klinik.

Bagaimana Prakteknya?

Nah, jika melihat penjelasan di atas nampaknya ada perbedaan cara menghitung PPh Pasal 21 atas dokter yang praktek di rumah sakit/klinik. Dalam peraturan menteri, PPh Pasal 21 atas dokter ini adalah sebesar tarif pasal 17 dikalikan kumulatif penghasilan bruto. Namun demikian, di peraturan Dirjen, PPh Pasal 21 dokter ini adalah sebesar tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan bruto (tanpa kumulatif?). Nah, kalau bagi dokter sih tentunya lebih menguntungkan perhitungan dari peraturan Dirjen karena ada pengurang 50% walaupun tarif dikenakan terhadap penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.

Nah, untuk memperjelas bagaimana cara menghitungnya, khusus dokter, ada contohnya di lampiran PER-31/PJ/2009. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa penghitungan PPh Pasal 21 atas dokter adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 terhadap kumulatif 50% penghasilan bruto tanpa memperhatikan berapa persen berapa bagian bagi hasil buat rumah sakit/klinik. Untuk menjelaskan ini saya buatkan contoh sangat sederhana di bawah ini.

Misalkan dr. Prita praktek di RS Omni Internasional (cuma contoh kok, hehehe) dengan perjanjian bagi hasil jasa dokter 80% buat dokter dan 20% buat rumah sakit dari jasa dokter yang dibayar pasien. Jasa dokter yang dibayar pasien buat dr. Prita pada bulan Januari Rp50.000.000 dan bulan Pebruari 60.000.000. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh RS Omni International pada bulan Januari adalah 5% x 50% x Rp50 jt = Rp. 1.250.000.

Bagaimana dengan bulan Pebruari?. Kumulatif 50% penghasilan bruto bulan Pebruari adalah 50% x (Rp50 jt + Rp60 jt) = Rp55 Juta. Dasar pengenaan pajak bulan Pebruari adalah Rp55 juta – Rp25 juta = Rp 30 juta. Nah, dari Rp 30 Juta ini, 25 Juta kena tarif 5% dan di atasnya Rp5 Juta kena tarif 15%. Jadi, PPh Pasal 21 bulan Pebruari adalah 5%x25 jt + 15%x5jt = Rp 2 Juta.

Ada penjelasan resmi tentang bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan bagi dokter ini di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. Penjelasan ini diberikan dalam bentuk file pdf. Silahkan klik tautan ini untuk mendapatkan informasinya.

Disadur dari dudiwahyudi.com

Senin, 05 Oktober 2009

Pajak atas bantuan ditanggung pemerintah

Sumbangan atau bantuan yang diberikan kepada korban bencana alam di berbagai wilayah Indonesia dan yang terakhir terjadi di Sumatra Barat, Jambi, dan sekitarnya, dapat dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan pajak penghasilan (PPh).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Djoko Slamet Surjoputro mengatakan kebijakan tersebut merupakan insentif bagi masyarakat terutama pelaku usaha agar terdorong untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada para korban bencana.

PPh atas sumbangan yang telah diberikan oleh penyumbang akan ditanggung oleh pemerintah.

“Dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat untuk meringankan beban para korban, pemerintah memberikan suatu kebijakan berupa pengakuan sumbangan sebagai biaya dalam menghitung PPh,” katanya dalam siaran pers yang diterima Bisnis, kemarin.

Bagi masyarakat yang memerlukan informasi lebih lanjut, terang Djoko, dapat langsung menghubungi call centre Ditjen Pajak di nomor telepon 500200.

Sementara itu, Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak Sjarifuddin Alsah menjelaskan ketentuan dan tata cara pemberian sumbangan untuk sementara waktu mengikuti ketentuan PMK lama, sambil menunggu payung hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

”Secara prinsip semuanya [syarat, ketentuan, dan tata cara pelaksanaan] sama dengan PMK-PMK yang mengatur tentang sumbangan dapat dijadikan sebagi pengurang penghitungan PPh. Hanya masalah tempat dan waktunya saja nanti yang berbeda,” jelasnya.

Dia menuturkan PMK yang saat ini dalam proses pembuatan tersebut nantinya berlaku surut sejak tanggal terjadinya bencana. ”Kelihatannya fasilitas ini akan berlaku sampai dengan akhir tahun mengingat besarnya dampak bencana yang ditimbulkan.”

Tidak hanya bencana yang terjadi di wilayah Sumatra, lanjutnya, pemberian insentif juga akan berlaku atas sumbangan yang diberikan kepada korban bencana gempa bumi yang terjadi di Jawa Barat beberapa bulan lalu. ”Berapa besar potential loss-nya itu tergantung seberapa besar sumbangan yang diberikan.”

Berdasarkan ketentuan dalam PMK-PMK lama itu, sumbangan yang dapat diperhitungkan sebagai biaya apabila :
(1) sumbangan dalam bentuk uang dan barang (sebesar nilai buku fiskal barang).
(2) sumbangan dibiayakan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan tahunan PPh tahun pajak,
(3) pembebanan biaya sumbangan harus dicatatkan sebagai sumbangan di tempat terjadi bencana.
(4) sumbangan harus disalurkan oleh instansi pemerintah a.l. Kantor Wapres, Kantor Menko Kesra, Depsos, Depkes, dan Depkeu, serta pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, termasuk Palang Merah Indonesia, media massa cetak dan elektronik, dan organisasi sosial dan/atau keagamaan.
(5) bukti sah dan dapat diuji kebenarannya.
(6) instansi pemerintah atau pihak lain harus mendaftarkan diri sebagai penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan kepada Kantor Pusat Ditjen Pajak.
(7) pengguna fasilitas ini WP badan yang penghasilannya tidak dikenakan PPh final dan WP orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas.
(8) penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau penyalurannya kepada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk setiap kuartal, jika tidak akan dilakukan pemeriksaan.

Jumat, 02 Oktober 2009

APLI tolak dikenakan PPh

Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) melayangkan surat kepada DJP menyusul berkurangnya pendapatan distributor MLM akibat komisi dikenai pajak penghasilan (PPh).

Peraturan DJP No. Per 31/2009 memperlakukan distributor MLM seperti karyawan dengan menetapkan komisi sebagai penghasilan dan dikenakan pajak tanpa memperhitungkan biaya operasional.

Menurut Wakil Ketua Urusan Dalam Negeri APLI Djoko Komara ketetapan tersebut terasa makin memberatkan distributor perorangan yang masih membangun omzetnya, sehingga rela menggunakan komisi untuk sekadar menutupi biaya operasionalnya guna mendapatkan pelanggan.

"Pemerintah sekarang ini memperlakukan distributor seperti karyawan, sehingga bonus atau komisi dianggap sebagai penghasilan bersih dan tidak lagi dipotong [diperhitungkan] biaya operasionalnya," kata Komara, belum lama ini.

Ketetapan tersebut, katanya, jadi memberatkan. Apalagi sekarang ini distributor beromzet kecil mendominasi distributor di dalam negeri, yang mencapai 80%. Distributor tersebut bisa dikatakan 80%-100% perolehan komisinya digunakan untuk biaya operasional. Bahkan mereka sering sampai berutang demi membangun jaringan dan mendapat omzet.

Untuk memperluas pelanggannya, katanya, distributor bahkan bersedia mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan penjajakan menjual produk demi mendapatkan komisi dari perusahaan MLM, dengan menggunakan transportasi pesawat udara misalnya.

Dia mengatakan APLI melayangkan suratnya pada 13 Agustus 2009 untuk minta penegasan kepada Ditjen Pajak tentang tata cara Per 31/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.

APLI menegaskan komisi yang menjadi penghasilan distributor sebagian digunakan untuk sejumlah pengeluaran, termasuk transportasi. Dengan demikian, penetapan pengenaan pajak dari penerimaan total bonus tanpa dikurangi biaya operasional, menyebabkan berkurangnya komisi yang diperoleh.

Lapor di pembukuan

Menurut Komara, Ditjen Pajak sudah memberikan keterangan, pemerintah bisa mempertimbangkan pengurangan komisi kena pajak setelah dipotong biaya operasional, dengan melaporkannya dalam pembukuan.

Format pembukuannya, jelasnya, sudah ada. Namun, ketegasan pemerintah tersebut belum dibuat tertulis, sehingga sampai saat ini pemotongan pajak komisi distributor MLM masih belum memperhitungkan biaya operasional.

Komentar :
Berlakunya PER-31/2009 memang banyak KEJUTAN & KEBINGUNGAN, khususnya bagi staf akunting & keuangan di negri ini. KENAPA.....? Pelajari sendirilah...saya juga terkejut & bingung gimana nglakuinnya...will be..will be-lah

Mayoritas anggota DPR baru belum ber-NPWP

DJP mengungkapkan, sekitar 60% anggota DPR periode 2009-2014 belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas DJP Djoko Slamet Surjoputro mengatakan, jumlah tersebut berdasarkan database anggota DPR, dan setelah dicek ternyata lebih dari 60% tidak punya NPWP. "Mereka kan wakil rakyat, panutan rakyat, yang menjadi teladan konstituen. Dan di antara mereka juga nantinya ikut menentukan anggaran," ujar Djoko.

Djoko mengakui, banyaknya anggota DPR terpilih belum memiliki NPWP karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya tidak menetapkan kepemilikan NPWP sebagai syarat pencalonan anggota legislatif. Kondisi ini, tuturnya, membuat pihaknya harus mengambil langkah jemput bola. Sebetulnya, selain diminta segera memiliki NPWP, anggota DPR baru juga diharap bisa segera memperbaiki SPT pajaknya.

Bila perbaikan dilakukan dengan kesadaran sendiri, pemerintah hanya memberikan sanksi kecil. Namun, bila harus diperiksa aparat DJP, ia bisa dikenakan sanksi denda hingga 200 persen. "Apalagi kalau dilakukan penyelidikan, (sanksi dendanya) bisa sampai empat kali lipat. Jadi, lebih baik diperbaiki sendiri," tuturnya. Selain penghasilan pokok, ungkapnya, wajib pajak juga harus melaporkan penghasilan tambahan yang didapat dari sejumlah kegiatan usaha di luar kegiatan usaha utama.

"Selain punya gaji pokok, bisa saja dia punya warung, atau istrinya punya salon.Itu artinya ada tambahan. Nah, usaha-usaha seperti itu yang belum dilaporkan, harus segera dilaporkan," tambahnya. Menanggapi itu, anggota DPR terpilih 2009-2014 dan mantan anggota Komisi XI DPR periode 2004-2009 Vera Febyanthy meminta Ditjen Pajak secara rutin dan berkala menjaring wajib pajak. "Jangan hanya hari ini saja buka gerai. Buka lebih lama lagi.Tak ada salahnya kan anggota ataupun asistennya dikasih tahu soal NPWP ini," ujarnya.-->(LANGKAH PEMBELAAN DIRI YANG ANEH & NAIF....)

Menurut dia, langkah proaktif Ditjen Pajak dalam menjaring wajib pajak baru akan cukup efektif dalam memperluas basis penerimaan pajak. Ini artinya, potensi penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan negara juga akan terus meningkat.

Dari pantauan sumber berita, hingga pelantikan DPR selesai, puluhan orang memadati dua gerai pajak keliling yang dipasang DJP di Gedung DPR. Petugas jaga gerai mengatakan, para wajib pajak yang mengajukan kepemilikan NPWP rata-rata berstatus asisten, ajudan, atau sekretaris anggota legislatif. "Kalau anggota DPR-nya sih sedikit.Mungkin malu kalau harus daftar sendiri di sini," tutur petugas.

Sementara itu, dua anggota DPR yakni anggota DPR Fraksi Gerindra Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I Edhy Prabowo dan anggota DPR Fraksi PAN yang juga selebriti Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) mengaku sudah memiliki NPWP. "Saya sudah memilikinya sejak lima tahun lalu," ujar Eko.

Komentar :
BENAR2 MEMALUKAN & SULIT DIJADIKAN CONTOH....APAKAH MEREKA ADALAH SALAH SATU YANG ANDA PILIH DALAM PILEG KEMARIN???????

Kamis, 01 Oktober 2009

WP dinyatakan NON-AKTIF

DJP menetapkan tujuh kriteria bagi wajib pajak (WP) yang dapat dinyatakan sebagai WP nonefektif atau WP yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Hal itu ditegaskan Dirjen Pajak Mochamad Tjip-tardjo dalam surat edaran 14 September 2009 No. SE 89/PJ/2009 tentang Tatacara Penanganan WP Nonefektif. Aturan ini berlaku mulai 1 Januari 2010.

Ketujuh kriteria itu adalah :
(1), selama 3 tahun berturut2 WP tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT masa dan atau SPT tahunan.
(2) tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya.
(3) WP orang pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP.
(4) secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
(5) bendahara tidak melakukan pembayaran lagi. (6) WP badan yang telah bubar tetapi belum ada akte pembubaran-nya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang sudah mendapatkan pengesahaan dari instansi yang berwenang).
(7) WP orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

"Ini untuk membersihkan administrasi pajak agar tidak kotor dengan data WP yang tidak aktif lagi. Kalau ternyata masih ada yang bisa diaktifkan lagi, ya akan kita aktifkan," kata Tjiptardjo kepada Bisnis saat dimintai konfirmasi tentang penerbitan SE ini, kemarin.

Dua cara Mekanisme penetapan WP nonefektif dilakukan melalui dua cara yaitu :
(1) bagi WP yang memenuhi kriteria satu sampai dengan empat, dapat diusulkan secara jabatan oleh account representative.
(2) bagi WP yang memenuhi kriteria lima sampai dengan tujuh, dapat mengajukan permohonan ke kantor pelayanan pajak.

"Permohonan perubahan status harus diselesaikan 10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap," tulis SE itu.

Bagi WP yang telah mendapatkan status nonefektif tetap akan tercantum dalam master file WP. Akan tetapi, tidak akan diterbitkan surat teguran sekalipun WP tidak menyampaikan SPT masa atau SPT tahunan. WP ini juga tidak turut diawasi pembayaran masa atau bulannya dan tidak diterbitkan STP atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT.

Dalam SE itu juga diatur WP nonefektif dapat berubah status menjadi WP efektif jika telah menyampaikan SPT masa atau SPT tahunan, membayar pajak, diketahui adanya kegiatan usaha dari WP, diketahui alamat WP, atau mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali.