Apa yang pertama kali ada di benak Anda ketika mendengar kata 'PAJAK'?

Senin, 14 September 2009

Kaum Profesional Masih Belum Taat Pajak

Ditjen Pajak menegur kaum profesional agar lebih taat membayar pajak. Ditjen Pajak menilai, tingkat kepatuhan warga negara yang punya penghasilan besar dari profesinya masih tergolong rendah.

Profesi apa pun, menurut DirJend Pajak Mochamad Tjiptardjo, tingkat kepatuhannya sebagai wajib pajak sama saja. "Secara umum, ketaatannya baru mencapai 40%," ujarnya seusai acara buka bersama di Ditjen Pajak, Selasa (8/9) malam.

Maka, Tjiptardjo menegaskan aparat pajak tetap akan mengecek kepatuhan pembayaran pajak kaum profesional melalui program intensifikasi pajak. "Profesi apa pun bisa kena kalau datanya nanti diperiksa. Itu namanya intensifikasi," tuturnya.

Di hadapan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia dan asosiasi profesi, Tjiptardjo mengingatkan lagi perihal perlunya kepatuhan membayar pajak. Ia bahkan berusaha menyentuh hati nurani mereka yang hadir dengan menampilkan foto-foto dan video rakyat miskin. "Potret ini perlu kita perhatikan karena masih banyak saudara-saudara kita yang miskin," katanya.

Soalnya, menurut Tjiptardjo, sebagian dari hasil dari pengumpulan pajak dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, selain untuk membiayai program pembangunan.

Bukan hanya menampilkan foto-foto yang menyentuh perasaan, Tjiptardjo juga menampilkan contoh Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi yang termasuk orang kaya dan masih salah dalam pengisian. Sebagian juga tak melaporkan dengan jujur. "Sekarang ada gempa, saya diam-diam mencatat, siapa yang sedang menyumbang Rp 1 miliar dan Rp 5 miliar. Bagaimana SPT-nya nanti," imbuhnya.

Kritik mengenai rendahnya kepatuhan kaum profesional membayar pajak tidak membuat Persatuan Artis Sinetron Indonesia (Parsi) gusar. Selama ini artis sinetron yang tergabung di Parsi mengaku taat membayar pajak. "Produser langsung memotong 15% dari kontrak artis," ujar Anwar Fuady, Ketua Umum Parsi.

Rabu, 09 September 2009

eSPT sulitkan WP????

Dengan berlakunya PER-31/2009 ttg Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh 21 dan/atau Pasal 26 sehubungan dengan perkajaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi & PER-32/2009 tentang Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 & Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, di dunia usaha terjadi kegusaran, khususnya bagian akuntansi dan pajak.

Terlebih bagi WP yang masuk KPP Madya dimana per masa Juli harus menggunakan eSPT. Kalau tidak, sanksi menunggu, karena tidak dianggap pernah melaporkan SPT Masa PPh21/26.....? Aneh....Sementara PER-31 keluar 25 Mei 2009, tapi berlaku surut sejak 1 Januari 2009. Semua yang berkecimpung dlm pelaporan pajak PASTI TAHU, efeknya adalah pelaporan SPT Masa PPh 21 sejak Januari s/d berlakunya PER-31 tersebut DIANGGAP SALAH. Padahal selama Januari s/d Juni 2009 seluruh WP mengikuti PER 15 (peraturan sebelumnya) yang resmi....Paradok sekali.....

Kasus nyata lagi : SPT Masa Juni 2009 suatu badan diharuskan memakai eSPT (karena masuk KPP Madya). Baru belajar (itupun dipaksakan), eehhhh...untuk masa Juli 2009 eSPT versi baru keluar lagi & diharuskan memakai yang baru ini, dimana banyak perbedaan (formulirnya aneh2 : Karyawan yg keluar & masuk dilaporkan, karyawan tetap, karyawan yang baru punya NPWP, dll), sementara tidak ada sosialisasi dari KPP (emang semua WP dianggap bisa apa.....!!!)

Bangn rumah hingga 400m2 bebas pajak

Ini kabar baik bagi orang yang berencana membangun rumah atau tempat usaha sendiri dengan luas bangunan di bawah 400 m2 pada tahun depan nanti. Sebab, Anda tak perlu lagi membayar pajak pertambahan nilai (PPN) lagi.

Aturan baru tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (RUU PPN dan PPnBM). Sebelumnya, pembebasan PPN hanya berlaku untuk rumah dan tempat usaha yang dibangun sendiri seluas maksimal 200 m2 .

Ketua Panitia Khusus DPR tentang RUU PPN dan PPnBM Melchias Markus Mekeng menyatakan, ketentuan mengenai pembebasan pajak itu bakal diatur lebih terperinci dalam Peraturan Menteri Keuangan. "Hanya luas rumah saja yang dibatasi, nilainya tidak," kata Melchias, akhir pekan lalu.

DirJen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, pungutan PPN hanya untuk pembangunan rumah atau tempat usaha dengan luas di atas 400 m2. "Kalau tidak diatur, bisa-bisa orang bangun rumah gede-gede. Masak sampai 1.000 m2 tidak kena pajak," ujar dia.

Dalam aturan sebelumnya, rumah atau tempat usaha yang dibangun sendiri dengan luas di bawah 200 m2 bebas pungutan PPN sebesar 10% dari nilai dasar pengenaan pajak. Nilai dasar pengenaan pajak adalah 40% dari total biaya pembangunan.

Sebagai ilustrasi, kalau ongkos membangun sebesar Rp 100 juta, maka nilai dasar pengenaan pajaknya sebesar Rp 40 juta. Berarti, PPN yang harus Anda keluarkan sebesar Rp 4 juta.

Kalau beleid baru ini sudah berlaku, Anda tak perlu membayar PPN lagi. Asalkan, rumah yang Anda bangun itu permanen dan tahan selama 20 tahun.

Ditjen Pajak Siap Sisir Mall

Mulai 2010, Ditjen Pajak akan menggencarkan penyisiran wajib pajak (WP) yang berada di sentra grosir dan pusat perbelanjaan (mal).

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan hal itu dilakukan dalam rangka menjalankan program ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan.

"Sekarang kami rampungkan dulu di high rise building dan property base. Sentra grosir dan mal seperti Glodok dan ITC baru bisa tahun depan," katanya pekan lalu.

Selasa, 01 September 2009

Seniman tuntut reformasi pajak

Pemerintah dinilai tidak mendukung secara maksimal perkembangan seni pertunjukan seperti wayang kulit, wayang orang, dan teater. Pemerintah memandang kegiatan kesenian tidak lebih dari ajang menarik keuntungan. Pegiat teater, raja monolog Butet Kartaradjasa menegaskan pemerintah tidak dapat membedakan bahwa teater merupakan produk kebudayaan dan tidak sama dengan budaya massal. Selama ini pemerintah menetapkan besaran pajak yang sama untuk pajak tontonan dengan produk film sebesar 40%.

"Misalnya saja pemutaran film selama seminggu. Film tinggal diputar dengan alat. Sementara teater harus ada pemain yang bergerak dan butuh makan dan minum. Mestinya ada perbedaan," keluhnya

Menurut dia, pertunjukan teater di Tanah Air tidak jarang rugi dan justru penyelenggaraannya harus menyediakan dana talangan. Pasalnya, sistem perpajakan yang ada belum berpihak kepada penggiat teater, ditambah minimnya apresiasi masyarakat.

Hal senada diungkapkan Senthun Bima Nugraha, penari andalan Wayang Orang (WO) Bharata, Jakarta. Dengan kondisi pas-pasan, Pemda DKI Jakarta justru membebani seniman wayang orang mereka dengan biaya sewa gedung yang besar. Untuk sekali latihan, Pemda membanderol biaya sewa Rp750.000. Artinya jika dalam sehari harus berlatih dua kali. WO Bharata sudah harus membayar Rp1,5 juta. Uang itu diperhitungkan dari total harga tiket masuk yang terjual.

"Mau main di Gedung Kesenian Jakarta juga begitu, kami harus deposit uang sewa gedung sebesar Rp14 juta," ujarnya.

Menurut bos PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI Group) Rohmad Hadiwijoyo, yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia DKI Jakarta, keterlibatan pemerintah memang mutlak dalam perkembangan seni budaya.

"Pengenaan pajak yang tinggi pada kegiatan kesenian rakyat justru kontraproduktif dengan semangat mengembangkan budaya Indonesia. Pemerintah baru kelabakan kalau budaya Tanah Air dicaplok bangsa lain," ujarnya.

Tanpa pengecualian

Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang baru saja disahkan DPR beberapa waktu lalu, yang dimaksud pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yaitu semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

Jenis pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan peraturan daerah. Pada kasus pertunjukan wayang kulit, wayang orang dan teater aturan ini tidak mempertimbangkan problematika yang selama ini dialami oleh pekerja seni pertunjukan yang sesungguhnya lebih bersifat nonprofit.

Kesenian justru tidak diberikan pengecualian. Yang termasuk dalam pengecualian adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, serta sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional, pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.

Padahal, sekelompok pekerja teater, misalnya, untuk mempersiapkan repertoar membutuhkan waktu minimal lima bulan, sejak riset, penulisan naskah, proses latihan, sampai dengan pengadaan pernak pernik pendukung pementasan, ditambah lagi untuk urusan khusus penyelenggaraannya dan sebagainya.

Para pekerja teater seperti halnya pementasan wayang kulit atau wayang orang baru akan mendapatkan penghasilan setelah pertunjukan usai, dengan klasifikasi sesuai kesepakatan kelompok yang bersumber dari sisa dana produksi.

Kondisi pekerja seni pertunjukkan serupa dengan petani yang tidak pernah memasukkan harga tenaga sejak mengolah tanah, menanam, sampai dengan memanen hasilnya, itu pun dengan catatan panen bagus.

Manfaatkan layanan gratis DJP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan pelayanan konsultasi pajak secara gratis kepada wajib pajak (WP) tentang tata cara pelaksanaan kewajiban perpajakan baik untuk orang pribadi maupun badan. "Layanan konsultasi gratis tersebut dimaksudkan untuk mempermudah WP memahami dan menjalankan kewajiban perpajakannya," kata Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, pelayanan tersebut mencakup bagian dari upaya sosialisasi perpajakan secara dinamis. "Kami siap menerima permintaan konsultasi dari kelompok atau asosiasi," ucap Tjiptardjo.

Materi konsultasi yang diberikan, kata dia, meliputi seputar kewajiban kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi WP yang sudah memenuhi syarat dan tata cara pengisian surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh).

Tjiptardjo mengatakan, permohonan konsultasi gratis tersebut dapat diajukan secara tertulis kepada masing-masing kantor pelayanan pajak (KPP) terdekat. Seluruh instansi seperti perusahaan, asosiasi, dan serikat pekerja bisa meminta sosialisasi pelayanan tersebut pada petugas pajak.

Pajak sdh manfaatkan akses data ke bank

Ruang gerak para pengemplang pajak untuk berkelit dari kewajibannya semakin sempit. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diam-diam ternyata sudah memanfaatkan akses untuk mendapatkan data perbankan milik wajib pajak.

Kemudahan akses ini tak lepas dari kebijakan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution. "Saya sudah membalas surat Menteri Keuangan yang meminta akses dan saya membolehkannya," katanya.

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan, "Respons positif BI terhadap permohonan yang kami ajukan lebih besar," katanya, Minggu (30/8). Itu sebabnya, Ditjen Pajak akan semakin sering meminta data bank milik wajib pajak yang mereka curigai.

Bulan ini saja, Tjiptardjo mengaku, lembaganya sudah mengajukan sejumlah permohonan ke BI. Dia tak menyebut identitas nasabah itu dan dari bank mana saja datanya berasal. Lebih jauh lagi Tjiptardjo bahkan ingin meminta bantuan yang lebih besar lagi dari BI. Bantuan itu berupa pembekuan rekening wajib pajak di bank.

Sejatinya, aparat pajak sudah punya payung hukum untuk meminta data nasabah bank. Yakni, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan. Tapi, sebelum Darmin masuk ke BI, aparat pajak tidak pernah bisa mendapatkan izin dari BI.

Selama ini, permohonan akses data bank milik wajib pajak hanya untuk yang berkaitan terkait dengan pemeriksaan. Tapi, Darmin menegaskan, pembukaan akses data tak memerlukan kondisi atau status tertentu.