Apa yang pertama kali ada di benak Anda ketika mendengar kata 'PAJAK'?

Selasa, 01 September 2009

Seniman tuntut reformasi pajak

Pemerintah dinilai tidak mendukung secara maksimal perkembangan seni pertunjukan seperti wayang kulit, wayang orang, dan teater. Pemerintah memandang kegiatan kesenian tidak lebih dari ajang menarik keuntungan. Pegiat teater, raja monolog Butet Kartaradjasa menegaskan pemerintah tidak dapat membedakan bahwa teater merupakan produk kebudayaan dan tidak sama dengan budaya massal. Selama ini pemerintah menetapkan besaran pajak yang sama untuk pajak tontonan dengan produk film sebesar 40%.

"Misalnya saja pemutaran film selama seminggu. Film tinggal diputar dengan alat. Sementara teater harus ada pemain yang bergerak dan butuh makan dan minum. Mestinya ada perbedaan," keluhnya

Menurut dia, pertunjukan teater di Tanah Air tidak jarang rugi dan justru penyelenggaraannya harus menyediakan dana talangan. Pasalnya, sistem perpajakan yang ada belum berpihak kepada penggiat teater, ditambah minimnya apresiasi masyarakat.

Hal senada diungkapkan Senthun Bima Nugraha, penari andalan Wayang Orang (WO) Bharata, Jakarta. Dengan kondisi pas-pasan, Pemda DKI Jakarta justru membebani seniman wayang orang mereka dengan biaya sewa gedung yang besar. Untuk sekali latihan, Pemda membanderol biaya sewa Rp750.000. Artinya jika dalam sehari harus berlatih dua kali. WO Bharata sudah harus membayar Rp1,5 juta. Uang itu diperhitungkan dari total harga tiket masuk yang terjual.

"Mau main di Gedung Kesenian Jakarta juga begitu, kami harus deposit uang sewa gedung sebesar Rp14 juta," ujarnya.

Menurut bos PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (PT RMI Group) Rohmad Hadiwijoyo, yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia DKI Jakarta, keterlibatan pemerintah memang mutlak dalam perkembangan seni budaya.

"Pengenaan pajak yang tinggi pada kegiatan kesenian rakyat justru kontraproduktif dengan semangat mengembangkan budaya Indonesia. Pemerintah baru kelabakan kalau budaya Tanah Air dicaplok bangsa lain," ujarnya.

Tanpa pengecualian

Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang baru saja disahkan DPR beberapa waktu lalu, yang dimaksud pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yaitu semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.

Jenis pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan peraturan daerah. Pada kasus pertunjukan wayang kulit, wayang orang dan teater aturan ini tidak mempertimbangkan problematika yang selama ini dialami oleh pekerja seni pertunjukan yang sesungguhnya lebih bersifat nonprofit.

Kesenian justru tidak diberikan pengecualian. Yang termasuk dalam pengecualian adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, serta sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional, pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.

Padahal, sekelompok pekerja teater, misalnya, untuk mempersiapkan repertoar membutuhkan waktu minimal lima bulan, sejak riset, penulisan naskah, proses latihan, sampai dengan pengadaan pernak pernik pendukung pementasan, ditambah lagi untuk urusan khusus penyelenggaraannya dan sebagainya.

Para pekerja teater seperti halnya pementasan wayang kulit atau wayang orang baru akan mendapatkan penghasilan setelah pertunjukan usai, dengan klasifikasi sesuai kesepakatan kelompok yang bersumber dari sisa dana produksi.

Kondisi pekerja seni pertunjukkan serupa dengan petani yang tidak pernah memasukkan harga tenaga sejak mengolah tanah, menanam, sampai dengan memanen hasilnya, itu pun dengan catatan panen bagus.